Satu hari
Aku sedang duduk di pasir pantai, berdua dengan orang yang kuajak ke sini dua tahun lalu: Arfi, mantan pacarku. Ini bukan sebuah kebetulan, aku tidak percaya hal itu. Semua yang terjadi pasti ada alasannya, seperti pertemuan pertamaku dengan Arfi, penyebab kami berpisah, sampai kami dipertemukan kembali hari ini.
Aku yang tadi baru saja menggelar tikar dan ingin menyeruput soda dingin, dikagetkan dengan suara yang tak asing. Dia menyapaku, meminta izin untuk duduk di sampingku. Sekali lagi, dia mantan pacarku. Orang yang sama, tempat yang sama, status yang berbeda. Rasanya ingin kabur, tapi tak bisa menolak, dia Arfi. Jujur, aku rindu tapi di sisi lain juga tidak mau menjebak diri kembali ke perasaan itu. Sekalinya bertemu mantan akan semakin menyakiti, apalagi jika jelas tak bisa kembali.
“Kamu masih sering ke sini, ya?” tanya Arfi.
“Iya. Masih sama kaya dulu, sebulan sekali lah.” jawabku.
“Iya, tau. Makanya aku ke sini, ternyata beneran ketemu kamu.” kata Arfi dengan nada datar.
“Hah?” aku bingung.
Tidak menjawab, Arfi langsung melepas kaos dan berlari ke arah ombak. Dasar, dia memang masih orang yang sama dengan dua tahun lalu, pecicilan. Setelah tubuhnya basah dia berlari menarikku untuk ikut bermain air. Lagi-lagi aku tidak bisa menolaknya, dia Arfi.
Aku dan Arfi berenang, saling ciprat air. Setiap ombak datang dia selalu bergaya ala-ala pendekar kungfu tapi akhirnya tetap kalah kuat hingga terdorong ke ujung pantai.
Lelah bermain, kami hanya diam duduk di pasir mengeringkan badan. Mengamati senja yang sebentar lagi datang.
Andai kita masih bersama, Fi. Pasti aku akan tertawa lepas saat tadi bermain air. Sekarang aku tertawa, tapi lebih banyak bertanya. Pantaskah kita ada di air laut yang sama? Layaknya sebuah titik hitam di kertas putih, perjuanganku untuk melupakan kamu hampir dua tahun kalah fokus dengan rasa sayang yang kembali muncul. Aku tidak mau itu terjadi, Fi. Semakin menyadari aku masih menyayangi, itu semakin menyakiti. Tapi, aku menikmatinya. Apa tidak apa-apa?
“Kamu jaga diri baik-baik, ya.” kata Arfi sambil menatapku.
“Iya, pasti” jawabku. Sedikit teringat dengan kalimat yang dia ucapkan saat kami berpisah.
“Kamu tau kenapa aku ke sini?” tanya Arfi dengan tatapan yang semakin serius.
“Nggak.” jawabku singkat.
Arfi mengeluarkan sesuatu dari tas dan memperlihatkannya padaku.
“Cincin?” tanyaku.
Arfi menarik nafas dalam dan berkata, “Ini cincin tunanganku, Dis. Sudah enam bulan, dua minggu lagi aku menikah. Baru hari ini aku melepaskan cincin ini. Aku berharap ketemu kamu, menghabiskan waktu kaya dulu sebelum semuanya benar-benar berubah.”
“Hah?” kataku.
“Aku kangen kita. Kalau aja ibumu bisa menerimaku, pasti cincin ini jadi milik kita, Dista. Aku melepasnya cuma karena mau nikmatin hari ini, nemenin kamu sebagai Arfi yang tidak terikat dengan siapa-siapa. Cuma untuk hari ini, gapapa, kan?” kata Arfi.
Aku menahan air mata, bergegas membereskan barang dan pergi. Aku tidak ingin menanggapi, tidak ingin bertanya lagi.
Memang, sesuai mau kamu, Arfi. Cuma untuk hari ini. Satu hari yang meruntuhkan hatiku yang hampir bersih dari namamu. Satu hari yang bisa seenaknya langsung kamu lupakan, karena setidaknya kamu punya pengganti. Satu hari di mana hari berikutnya, aku tetap sendiri.
Damn
kapan bikin bukunya
Ko ceritanya mirip dengan lagu only today yh
Tapi aku suka ceritanya, lanjutkan beb…
Kenapa tiba-tiba saya teringat lagu only today ya? Apakah ini terinspirasi dari lagu itu? Hehee
Mengingatkanku pada only today, tapi lebih sedih. Yuk bisa yuk bikin novel…
Kayanya berbakat juga jadi penulis beb,, bikin novel boleh lah.
Seperti indomales dan alfamales.. selalu berdampingan tapi tak bisa bersatu 🙁
beribu kata yg ada di dunia, manfaatkanlah selagi bisa. semangat kak beb ☺️☺️
Only today edisi Beby
Berharap Beby nulis buku
WOW!
Bagus banget, lanjutkan, Beby!
Gue inget dulu pernah baca ini, dari elu jg tapi entah dimana….
Care to refresh our memory, By?
Ngeluarin cincin kirain mau ngelamar.. ternyataaaa…..
Dan aku tercengang